WahanaNews - Simalungun I Dolok Tinggi Raja adalah sebuah tempat yang terletak di Desa Dolok Merawa, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Lokasinya masih dalam wilayah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam atau BBKSDA Sumatera Utara yang terpisah jarak 90 kilometer dari pusat Kota Medan.
Dulu, Dolok Tinggi Raja adalah kawasan cagar alam. Namun kini, sebagian wilayah Dolok Tinggi Raja menjadi taman wisata alam. Para pelancong perlu mengetahui status ini agar tak salah kaprah ketika berkunjung lantaran statusnya sudah berubah dari cagar alam yang tak boleh disentuh sama sekali, menjadi taman wisata alam.
Baca Juga:
Sandiaga: Akomodasi Kekinian Inovatif Jadi Daya Tarik Wisatawan untuk Berkunjung
Di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Cagar Alam Dolok Tinggi Raja merupakan kawasan Hutan Lindung Sianak-anak I dan Hutan Lindung Sianak-anak II. Kedua kawasan konservasi ini masing-masing ditetapkan sebagai hutan lindung pada 1916 dan 1918. Penetapannya dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan bersama raja-raja di Simalungun.
Lantaran keunikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, maka raja-raja di Simalungun bersepakat lagi untuk meningkatkan status kedua hutan lindung tersebut menjadi cagar alam seluas 167 hektare. Kesepakatan ini diterakan dalam bentuk Zeelfbestuur Besluit No. 24 Tanggal 18 April 1924.
Tinggi Raja ditetapkan jadi cagar alam bersama Cagar Alam Batu Gajah. Batu Gajah terletak di Dusun Pematang, Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, di kabupaten yang sama. Luas cagar alam Batu Gajah hanya 0,80 hektare.
Baca Juga:
Wisata Alam Sukabumi Viral Gegara Will Smith, Sandiaga Uno Kegirangan
Bagaimana bisa raja-raja Simalungun menetapkan sebuah kawasan konservasi sebagai hutan lindung maupun cagar alam di saat rezim Hindia Belanda berkuasa?
Pertanyaan itu bisa dijawab dengan membaca artikel berjudul Peran Sultan dan Raja dalam Penunjukan Kawasan Konservasi dan Pelestarian Jenis (1920-1938) di laman Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (PIKA) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mengakui para sultan dan raja sebagai kepala pemerintahan kesultanan dan kerajaan yang memiliki otonomi daerah sehingga mereka memiliki wewenang untuk menunjuk kawasan konservasi di bagian-bagian wilayah sebagai cagar alam (natuurmonument) maupun suaka margasatwa (wildreservaat) untuk melindungi kekayaan alam Hindia Belanda yang perlu dilestarikan.