Sebagai pintu terakhir sebelum menggumpal menjadi terorisme, radikalisme adalah sikap atau mental yang menyetujui dan mendukung penggunaan aksi-aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. secara lebih spesifik menjelaskan bahwa seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi seperti mengapresiasi aksi terorisme, tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.
Baca Juga:
Respons Wakapolri Komjen Agus Diisukan Jadi Kepala BIN
"Jika sikap dan pemahaman ini tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris.
Yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung dengan menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut," ujar Gatot.
Hal yang harus dipahami bersama, lanjut Gatot, radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar yang berbeda-beda pula.
Baca Juga:
Komjen Agus Bantu Jurnalis Medan Rp 600 Juta Buka Koperasi Bersama
Umumnya, radikalisme bermula dari intoleransi, yakni sebuah pemahaman dan sikap yang menolak keberadaan kelompok lain; risih dengan perbedaan.
"Itu sebabnya, tidak sedikit pakar dan pengamat yang menyebut radikalisme ibarat sel tidur yang sewaktu-waktu dapat tergerak untuk melakukan aksi-aksi anarkis," katanya.