DANAUTOBA.WAHANANEWS.CO- Seorang Pendeta HKBP dan juga dikenal kerap menyuarakan pelestarian lingkungan hidup, Pendeta Jurito Sirait bakal gandeng rohaniawan lainnya mengadakan doa bersama.
Muatan ibadat tersebut menyoal bagaimana penderitaan masyarakat di Tapanuli Utara akibat kehadiran perusak lingkungan. Direncanakan, ibadat tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 1 Maret 2025.
Baca Juga:
Gereja HKBP Tolak Tawaran Konsensi Izin Tambang untuk Ormas
Ia membagikan pengalamannya soal kehadiran sejumlah perusahaan besar di Tapanuli Raya ini yang disebutnya sebagai perusak lingkungan.
Selain merusak lingkungan, sejumlah peristiwa konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan bubur kayu tersebut pun sudah terjadi. Teranyar, masyarakat adat di Nagasaribu di Tapanuli Utara berkonflik dengan PT TPL.
"Kita prihatin dengan kondisi alam di Tapanuli Raya ini. Leluasa sekali perusahaan lingkungan, baik itu TPL, perusahaan KJA mengelola sumber daya alam tanpa ada batasan yang jelas," ujar Pendeta Jurito Sirait, Minggu (23/2/2025).
Baca Juga:
Wakil Bupati Samosir Letakkan Batu Pertama Pembangunan Rumah Dinas Gereja HKBP Pangururan Kota
Dengan menelisik apa yang terjadi di tengah masyarakat, tapal batas lahan konsesi perusahaan belum jelas. Hal inilah yang memicu konflik antara masyarakat dan perusahaan. Saling klaim lahan pun terjadi.
"Kerusakan alam sudah jelas dan nyata ada. Sejak dulu, konsesi TPL sejak dulu tidak jelas soal luasan dan lokasi. Ini nyata pembiaran pemerintah. Bahkan, bisa kita sebuat adanya dugaan persekongkolan antara pemerintah dan pengusaha," lanjutnya.
Masyarakat adat yang telah berdiam di kampungnya merasa terintimidasi. Menurutnya, kehadiran perusahaan yang didugai merusak lingkungan mengubah tatanan masyarakat dan menjadi ancaman.
"Korbannya adalah masyarakat, yakni masyarakat adat yang sudah mendiami lokasi tersebut ratusan tahun. Masyarakat sendiri terintimidasi saat mengelola lahan, tempat mereka mencari nafkah. Sejak kedatangan TPL, tatanan dan kehidupan masyarakat adat berubah,"
"Ruang gerak masyarakat adat dibatasi oleh adanya HGU, HPH dan yang lain. Jadi, hal ini benar-benar tidak manusiawi," sambungnya.
Selain itu, isu pemanasan global (global warming) nyata terjadi. Sejauh amatannya, sejumlah kawasan yang dulunya masih dingin kini sudah berubah menjadi panas akibat perambahan hutan secara besar-besaran dan diganti dengan kayu produksi.
"Nyata, kita alami bagaimana perubahan iklim. Pemanasan global. Sejumlah kawasan yang dulunya masih dingin, kini sebagian menggunakan AC di ruangan," terangnya.
"Selalu terngiang ungkapan yang mengatakan bahwa alam Tapanuli Raya ini dianugerahkan Tuhan bagi kita bukan supaya kita kaya, tapi supaya orang Batak hidup. Tanpa perusahaan itu, kita bisa sekolah, jadi sarjana. Nenek moyang dan orang tua kita mengenal pendidikan tanpa TPL dan perusahaan lainnya," sambungnya.
Menurutnya, seandainya perusahaan yang disebut perusak lingkungan itu tak hadir di Tapanuli Raya, masyarakat sekitar akan merasa lebih nyaman.
"Tanpa perusahaan itu, orang Batak bisa jadi sukses. Jadi, apa yang kita takutkan kalau perusahaan perusak lingkungan ini tidak ada di sini? Tidak ada. Lahan konsesi bisa digunakan oleh masyarakat. Infrastruktur jalan akan lebih terawat, ancaman logging yang saban hari terjadi pada kita tidak ada lagi. Kita menjadi nyaman di Tapanuli Raya ini," terangnya.
"Contoh saja, di kawasan Matio. Yang dulunya, ratusan hektar masyarakat kelola menjadi sawah kini tak seluas itu lagi yang dikelola setelah 9 tahun TPL tanam eukaliptus di sana," lanjutnya.
Kondisi yang saat ini menurutnya bagi orang materialistis bukanlah sebuah keprihatinan.
"Manusia saat ini yang materialistis, hal itu bukan sebuah keprihatinan. Karena, mereka hanya berpikir soal uang dan untung. Bencana demi bencana sudah datang menghampiri kita," ungkapnya.
Ia kembali melihat jauh ke belakang soal penutupan PT Indorayon yang saat ini menjadi PT TPL. Menurutnya, nama yang berubah, namun penderitaan masyarakat akibat pengrusakan alam tidak berubah.
"Saat itu, periode pergantian Presiden Soeharto ke BJ Habibie. BJ Habibie dikenal dengan pemahaman Jerman Eropa tentu ditambah lagi lobby-lobby orang Batak yang punya nurani, PT Indorayon bisa ditutup," lanjutnya.
"Di masa Presiden Megawati, PT Indorayon menawarkan paradigma baru sehingga dibuka kembali dengan nama PT TPL. Hal ini membuat perjuangan masyarakat kembali mentah setelah adanya keputusan pemerintah untuk membukanya kembali," lanjutnya.
Sehingga ia berharap, momen doa atau ibadat bersama soal pelestarian lingkungan menjadi penyemangat bagi insan peduli lingkungan.
"Kita bersama para rohaniawan lainnya untuk membuat ibadat soal pelestarian lingkungan hidup. Kita masih berupaya berkomunikasi dengan seluruh pimpinan gereja yang ada di Sumatera Utara ini agar bisa secara bersama hadir dalam ibadat tersebut," pungkasnya.
[Redaktur: Hadi Kurniawan]