DANAUTOBA.WAHANANEWS.CO — Banjir bandang merusak jantung pariwisata Danau Toba di kawasan Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sudah lima hari aktivitas pariwisata lumpuh. Bencana ekologis itu disebabkan kerusakan hutan di hulu Danau Toba.
Banjir bandang tersebut menghantam destinasi wisata, hotel, restoran, rumah sakit, permukiman warga, dan sempat membuat jalan nasional lumpuh total. Hingga Kamis (20/3/2025), kondisi kawasan pariwisata Parapat masih lumpuh.
Baca Juga:
Kebakaran Tujuh Rumah di Parapat bermula dari lantai dua rumah makan ayam geprek
Sejumlah rumah makan, restoran, dan hotel belum beroperasi. Masyarakat juga masih sibuk membersihkan material lumpur di dalam rumah.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, yakni Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Auriga Nusantara, dan Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (Jamsu), melakukan investigasi untuk mencari penyebab banjir bandang
”Hasil penelusuran kami, banjir bandang disebabkan oleh hilangnya 6.148 hektar hutan alam di hulu Parapat,” kata Direktur Eksekutif KSPPM, Rocky Pasaribu dikutip dari Kompas, Kamis (20/3/2025).
Baca Juga:
Kapolres Simalungun Bersama Jajaran Hadiri Audit Kinerja Tahap-II 2024 ITWASUM POLRI di Parapat
Banjir bandang dan longsor melanda kawasan pariwisata Parapat, Minggu (16/3/2025) malam. Jalan Lintas Sumatera di kawasan itu sempat lumpuh karena tertimbun batu dan lumpur. Jalan nasional tersebut juga tertimbun longsor. Jalan akhirnya bisa dilalui pada Senin (17/3/2025) pagi.
Banjir bandang menghantam Jalan Lintas Sumatera di sekitar Pantai Bebas Parapat, termasuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Parapat. Setelah air surut, lumpur setinggi setengah meter menumpuk di jalan, rumah, hotel, dan rumah makan.
Rocky menyebut, banjir bandang yang menghantam jantung kawasan pariwisata Danau Toba merupakan alarm darurat yang memperingatkan kerusakan lingkungan hidup yang cukup masif. Parapat merupakan destinasi dan salah satu pintu masuk utama ke kawasan Danau Toba.
Berdasarkan analisis spasial dan penelitian di lapangan, kata Rocky, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir terjadi pembukaan hutan yang signifikan di lima kecamatan sekitar Parapat, yaitu Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran. Lima kecamatan itu merupakan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon Simalungun.
Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di wilayah tersebut mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga tersisa 3.614 hektar pada 2023. Kehilangan tutupan hutan terbesar terjadi pada 2005-2010, yakni seluas 2.779 hektar hutan hilang.
Pada periode 2010-2025, kembali terjadi kehilangan tutupan hutan sebesar 2.366 hektar. Rocky menyatakan, kehilangan tutupan hutan yang cukup signifikan juga terjadi di kawasan konsesi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari.
”Jika diakumulasi sejak 2000 hingga 2023, kawasan ini telah kehilangan hutan alam seluas 6.148 hektar. Perubahan ini sangat berpengaruh pada daya tampung air hujan dan stabilitas tanah yang akhirnya menyebabkan bencana ekologis banjir bandang,” ungkap Rocky.
Dia pun menilai, banjir bandang Parapat menunjukkan adanya kelalaian pemerintah daerah dalam mengawasi tata ruang di wilayah DAS Bolon Simalungun. Pembukaan lahan di kawasan DAS serta daerah terjal telah berkontribusi terhadap terjadinya bencana yang berulang di Parapat.
Menurut Rocky, banjir bandang memang dipicu genangan air di hulu Sungai Gaga. Namun, genangan air itu tidak akan terjadi jika tutupan hutan masih bagus. Hutan memiliki peran penting dalam siklus air untuk menangkap dan menyimpan air hujan.
[Redaktur: Mega Puspita]