"Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut. Mengingat saat itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan diri daripada dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," tutur Yusril.
Bukannya direspons positif, Gus Dur malah marah. Yusril dipecat keesokan harinya, 7 Februari 2001 dan posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM digantikan Baharudin Lopa.
Baca Juga:
Dugaan Pemalsuan Dokumen PBB, Yusril Diadukan ke Bareskrim
Menteri baru ini bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II dari DPR di MPR.
Tetapi Gus Dur akhirnya meneken dekrit pada 23 Juli 2001. Memang, tindakan Gus Dur mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi, dan tokoh-tokoh LSM.
Namun karena tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.
Baca Juga:
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari PBB, Fahri Bachmid Jadi Penjabat Ketum
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu," kata dia.
Menurutnya risiko politiknya terlalu besar. Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang.
TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah Keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi.