Dia tidak melihat cukup alasan untuk menyatakan adanya dua faktor tersebut.
Dekrit 5 Juli 1959, kata Yusril, adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution.
Baca Juga:
Dugaan Pemalsuan Dokumen PBB, Yusril Diadukan ke Bareskrim
Menurut dia, saat itu Nasution lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik, terutama PNI dan PKI.
”Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer dan ini sejarah tahun 1959,” ujar Yusril.
Peristiwa 1959 itu berbeda dengan yang terjadi pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.
Baca Juga:
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari PBB, Fahri Bachmid Jadi Penjabat Ketum
"Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Gus Dur dalam sidang kabinet pada 6 Februari 2001. Saya mengingatkan dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang memang memberikan nasihat hukum kepada Presiden," kata Yusril.
Kepada Gus Dur, Yusril saat itu mengatakan bahwa rencana mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko.
Kalau tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka tidak ada landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk mendukungnya. Dekrit hanya akan berhasil jika didukung kekuatan militer.