WahanaNews-DanauToba| Netizen mengkritik sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Kabupaten Toba (Polres Toba). Khususnya di media sosial facebook, ada dua unggahan terbanyak terkait kritik terhadap polisi.
Pertama mengenai kasus dugaan korupsi pengadaan sound system tahun 2014 di Bagian Umum Pemerintah Kabupaten Toba (Toba Samosir kala itu).
Baca Juga:
“Wine Mangga” Samosir Diperkenalkan di Bazar UMKM Kaldera Toba
Kedua tentang penangkapan empat orang penambang batu dari tebing tepi danau toba di Desa Sigaol Timur, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba, Senin (8/11/2021) minggu lalu.
“Sang Api” adalah salah satu nama akun facebook yang paling aktif mengkritik kinerja kepolisian. Terbaru, dia menyampaikan kekecewaan pada kasus penangkapan penambang batu illegal.
“Turut prihatin.!! Hukum masih aja tajam kebawah n tumpul keatas. Ada berapa toko material/bangunan di Kab Toba yg bisa membuktikan bahwa batu yg mereka perjualbelilan bukan hasil tambang ilegal..??? Itu aja diperiksa Pak Polisi, jauh amat ke Sigaol.!! Saya kira 75% batu yg diperjual belikan di Kab Toba adalah ilegal.. Misteri Sound System Rp 1 Milliar milik Tobasa Divpropampolri Divisi Humas Polri,” tulis Sang Api, Jumat, (12/11/2021).
Baca Juga:
HUT Kabupaten Toba ke-23 Ada "Opera Simardan", Ini Rangkaian Kegiatan Pemkab
Unggahan juga menyertakan link berita tribunnews.com, berisi wawancara jurnalis dengan Kasat Reskrim Polres Toba, AKP Nelson Sipahutar.
Ditanya mengenai kritik Sang Api terkait penangkapan penambang batu, AKP Nelson Sipahutar tidak berkomentar banyak.
“Kl (kalau) ada tambang batu illegal akan kami tindak trims (terimakasih),” kata Nelson kepada wahananews.co melalui pesan whatsapp, Senin (15/11/2021).
Jurnalis wahananews.co meminta tanggapan terkait unggahan tersebut. Selasa (17/11/2021), pemilik akun Sang Api memberikan tanggapan. Begini penjelasan lengkapnya.
“Terkait hal ini seharusnya kepolisian bisa lebih aktif, tinggal didatangi saja toko-toko material/panglong yang ada di Toba. Bisa tidak mereka membuktikan bahwa batu yang mereka jual bukan merupakan hasil tambang illegal? Karena sesuai ketentuan UU (Undang-Undang), orang yang menggunakan, menyimpan, dan menjual hasil tambang illegal, bisa dipidana,” tulis Sang Api.
“Tapi kan, selama ini hal itu tidak pernah dilakukan. Yang sering terjadi adalah rakyat kecil yang tidak punya pilihan demi bisa hidup dan melakukan penambangan secara manual yang sering ditangkap dan diproses hukum,” katanya.
“Terkait hal ini saya pikir pemkab toba harus memfasilitasi dan membantu masyarakat untuk mengurus izin pertambangan batu ini, agar hal semacam ini tidak terjadi lagi. Kita juga berharap penanganan kasus-kasus tambang illegal yang sebelumnya banyak ditangkap dapat dilakukan transparan,” kata Sang Api.
Ketika ditanyakan kembali, Kasat Reskrim Polres Toba, AKP Nelson Sipahutar tidak menjawab.
Sementara itu, mengenai unggahan dugaan korupsi pengadaan sound sistem Rp 1 Miliar di Bagian Umum Pemerintah Kabupaten Toba Tahun Anggaran 2014, pernah mendapat penjelasan dari Kasat Reskrim Polres Toba, AKP Nelson Sipahutar.
Kepada tribunnews.com, dia mengklarifikasi bahwa laporan diterima tahun 2018 bukan tahun 2016 seperti ramai diberitakan. Sedangkan nilai kontrak sebenarnya Rp 943.930.000, bukan 1 miliar.
Terbaru, kasus akan segera dilanjutkan ke penetapan tersangka setelah proses perhitungan kerugian negara dan gelar perkara selesai.
Ia juga menjelaskan alasan lambatnya penanganan perkara ini disebabkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sedang DPO (Daftar Pencarian Orang saat itu.
"Nilai kontraknya pada waktu itu Rp 943.930.000, tidak sampai Rp 1 Miliar. Itu untuk anggaran tahun 2014. Dan hambatan kenapa ini sampai lama penanganannya di penyidik, ini karena Kuasa Pengguna Anggaran inisial EPP sebagai Kabag Umum menghilang, atau tidak di tempat dan merupakan DPO Kejaksaan. Dan, kami juga berusaha mencari bersangkutan selama ini, namun tidak ketemu," kata Nelson sebagaimana dikutip dari tribunnews.com, (3/11/2021).
Kembali, Sang Api menanggapi pernyataan dalam berita itu. Dia mengatakan, kasus ini terkesan didiamkan.
“Sampai dengan saat ini, dalam kasus pengadaan sound system belum ada penetapan tersangka. Oleh karena itu EPP (Mantan Kabag Umum Pemkab Toba) masih berstatus saksi dan tidak ada dalam UU (Undang-Undang) manapun di Republik ini yang mengatur atau menjelaskan bahwa kasus korupsi bisa didiamkan apabila saksinya gak ketauan/buron, atau sedang menghitung kerugian Negara. Emang berapa sulit menghitung harga sound system dimaksud? Tinggal telepon juga bisa. Lagi pula EPP itu sudah lebih dari satu tahun ditangkap dan saat ini sedang menjalani hukuma di Rutan (Rumah Tahanan) Balige,” kata Sang Api.
Selanjutnya, terkait perbedaan penerimaan laporan antara tahun 2016 dengan tahun 2018, Sang Api mengatakan bahwa pernyataan tahun 2016 sudah tahap penyidikan adalah pernyataan dari penyidik Polres Toba tahun 2020 lalu.
“Terkait dengan pernyataan tahun 2016 sudah naik ke tahap penyidikan itu disampaikan oleh penyidik Tipikor Polres Toba sekitar bulan Maret tahun 2020, sewaktu kita mempertanyakan kasus ini melalui Aliansi Durian Busuk tahun yang lewat. Coba aja di cek berita-berita tentang kasus ini sudah berapa tahun yang lewat,” kata Sang Api.
Sang Api menambahkan, Polres Toba sebaiknya memberikan kepastian tentang kasus sound system.
“Sebaiknya penyidik Polres Toba memberikan kepastian tentang kasus ini, cukup atau tidak, kalu tidak SP3 kan lah. Karena kalau jawaban ‘segera’, itu tidak jelas. ‘Segera’ itu artinya paling satu minggu atau lebih sedikit, kalau bertahun-tahun itu bukan lagi segera,” pungkasnya. (mps)