Peristiwa terbesar letusan itu 74.000 tahun lalu hampir memusnahkan semua kehidupan di muka bumi. Enam tahun bumi tidak mendapat sinar matahari karena atmosfir dipenuhi oleh abu vulkanik, menghalangi sinar matahari.
“Bumi mengalami malam panjang enam tahun nonstop. Tidak ada proses fotosintesis, tumbuh-tumbuhan mati, hewan yang makan tumbuh-tumbuhan itu ikut mati, manusia yang makan hewan dan tumbuhan itu juga ikut mati,” tuturnya.
Baca Juga:
Kasus Aktif Covid-19 Jadi 47 Orang, Satgas Segera Aktifkan Posko Desa
Dia melanjutkan, dari puluhan juta populasi manusia masa itu hanya tersisa lebih kurang 2000 orang. Mereka berada di padang rumput Afrika. Tepatnya di perbatasan Kenya dengan Tanzania. 2000 orang inilah yang bertahan hidup menanggung kepahitan selama 6 tahun tanpa sinar matahari.
“Ketika matahari mulai bisa menembus lagi ke permukaan bumi maka 2000 orang inilah yang menjadi cikal-bakal seluruh penduduk bumi, yang sudah sebanyak 7 milar hari ini. Itu keturunan langsung dari 2000 orang yang selamat itu,” kata Yance menjelaskan.
Nah, semua peristiwa itu terekam dalam genetik manusia. Jadi peristiwa letusan Toba itu sudah membelokkan arah perkembangan budaya dan evolusi fisik manusia, begitu hebatnya dampak peristiwa itu kepada kehidupan. Dan itu tapaknya terdapat di provinsi kita, Sumatera Utara.
Baca Juga:
Kapolres Toba Rapat Bersama Penanganan Covid-19
“Bekas-bekas jejaknya baik itu abu vulkanik maupun formasi batuan geologis ataupun fosil tumbuhan, fosil daun, fosil cangkang, kerang, siput, itu masih kita temukan di perbukitan-perbukitan samosir. Sebagai bukti bahwa samosir itu dulu adalah dasar danau yang terangkat akibat peristiwa vulkanik,” kata Yance. (mps)