Berdasarkan analisis spasial dan penelitian di lapangan, kata Rocky, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir terjadi pembukaan hutan yang signifikan di lima kecamatan sekitar Parapat, yaitu Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran. Lima kecamatan itu merupakan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon Simalungun.
Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di wilayah tersebut mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga tersisa 3.614 hektar pada 2023. Kehilangan tutupan hutan terbesar terjadi pada 2005-2010, yakni seluas 2.779 hektar hutan hilang.
Baca Juga:
Kebakaran Tujuh Rumah di Parapat bermula dari lantai dua rumah makan ayam geprek
Pada periode 2010-2025, kembali terjadi kehilangan tutupan hutan sebesar 2.366 hektar. Rocky menyatakan, kehilangan tutupan hutan yang cukup signifikan juga terjadi di kawasan konsesi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari.
”Jika diakumulasi sejak 2000 hingga 2023, kawasan ini telah kehilangan hutan alam seluas 6.148 hektar. Perubahan ini sangat berpengaruh pada daya tampung air hujan dan stabilitas tanah yang akhirnya menyebabkan bencana ekologis banjir bandang,” ungkap Rocky.
Dia pun menilai, banjir bandang Parapat menunjukkan adanya kelalaian pemerintah daerah dalam mengawasi tata ruang di wilayah DAS Bolon Simalungun. Pembukaan lahan di kawasan DAS serta daerah terjal telah berkontribusi terhadap terjadinya bencana yang berulang di Parapat.
Baca Juga:
Kapolres Simalungun Bersama Jajaran Hadiri Audit Kinerja Tahap-II 2024 ITWASUM POLRI di Parapat
Menurut Rocky, banjir bandang memang dipicu genangan air di hulu Sungai Gaga. Namun, genangan air itu tidak akan terjadi jika tutupan hutan masih bagus. Hutan memiliki peran penting dalam siklus air untuk menangkap dan menyimpan air hujan.
[Redaktur: Mega Puspita]