TAPUT-SIBORONGBORONG WAHANANEWS.CO, Modus politik uang atau mone politics ternyata telah berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Hal ini diungkap oleh Pemerhati untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Julfri Raja Hutasoit.
Menurut Julfri Raja, perkembangan teknologi kini memungkinkan apa yang disebut sebagai dengan modus politik uang pasca bayar. Modus politik uang ini bisa dilakukan dengan modus, borhat-borhat ( pemberangkatan doa bersama), disana ada penghalusan bahasa bagi warga yang dikumpulkan dipenghujung acara ada pembagian amplop berisikan uang dengan nilai 50 ribu rupiah sampai 300 ribu rupiah disetiap acara borhat-borhat.
Baca Juga:
Poltak Sitorus Calon Bupati Toba Dinilai Pembohongan Publik, BPS Toba Bantah Jumlah Wisatawan 2,08 Juta Wisatawan
Baru-baru ini setelah bakal calon bupati dan calon wakil bupati mendapat rekomundasi partai pendukung, marak sekali acara borhat-borhat (Doa pemberangkatan bakal calon). Awalnya tim pemenangan dari salah satu calon membuat undangan lisan kepada uarga, untuk hadir diuaktu dan tempat yang sudah ditentukan untuk melakukan borhat-borhat disana dijanjikan bagi warga yang mengikuti acara akan diberikan makan, pengganti ongkos kendraan, perorang 50 - 300 ribu rupiah dan minta untuk dipilih calon yang diusung salah satu partai.
Modus penghalusan bahasa disebut pengganti ongkos, kalau dihitung jumlah warga yang hadir dikali sejumlah pertemuan, pasti sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak. Bagaimana tidak korupsi setelah terpilih, pasti ada program pengembalian biaya borhat-borhat.
Julfri Raja menjelaskan, pada modus politik uang terdahulu, broker akan memberikan uang kepada orang-orang untuk mencoblos calon tertentu, tanpa bisa mendapatkan bukti penerima uang benar-benar mencoblos calon yang diminta. Namun, dengan kehadiran kamera berponsel, broker kini bisa meminta bukti pencoblosan terlebih dahulu sebelum memberikan uang.
Baca Juga:
Dearman Damanik Sebagai Nara Sumber di Suatu Kegiatan Tidaklah Mudah
Ini menjadi salah satu alasan para pemilih dilarang mengambil foto atau merekam video saat mereka mencoblos kertas suara di tempat pemungutan suara (TPS).
“Potensi lainnya adalah politik uang pasca bayar jadi kita milih dulu, kita tunjukkan buktinya sebelum dibayar. Makanya dilarang merekam atau memfoto saat kita memilih di TPS,” kata Julfri Raja saat bincang-bincang di Siborongborong, Sabtu (21/9/2024).
Modus politik uang lainnya adalah dengan menggunakan uang elektronik alih-alih uang tunai. Namun cara ini relatif jarang digunakan, selain karena broker lebih mudah membagi uang tunai, transaksi dengan uang elektronik dapat dengan mudah dilacak.
Meskipun politik uang ini bukan hal baru, tapi saat ini modusnya berbeda-beda. Kalau dulu biasanya datang dalam bentuk uang tunai, sekarang lebih bervariasi. Misalnya saja, berupa hadiah, janji, atau ada juga yang uang tunai tapi dijanjikan setelah terpilih. Inilah yang sulit sekali mendeteksi,” papar Pemerhati Pemilu 2024, Julfri Raja Hutasoit.
Modus politik uang yang paling sulit dideteksi adalah dalam bentuk non tunai, seperti pemberian sembako. Julfri menuturkan, selain karena modus money politics yang semakin beragam, Bawaslu kesulitan juga, terletak pada regulasi dan proses pelaporan yang panjang.
Meskipun begitu, upaya pemantauan dan pengawasan tetap gencar dilakukan. Kabupaten Tapanuli Utara tercatat sebagai salah satu dari Kabupaten teratas yang rawan akan politik uang. Usaha preventif dan represif pun dilakukan. Julfri Raja menyebutkan, Bawaslu telah melakukan sejumlah sosialisasi dan himbauan pada partai politik. “Untuk tidak terlibat atau terbawa-bawa oleh bakal calon bupati dan wakil bupati dalam politik uang.
Masa-masa kritis disebut mulai minggu tenang, ini hingga jam 9 malam, dan pagi hari besok akan rawan ada serangan politik, serangan fajar. Jadi diharapkan bawaslu dan masyarakat bisa berkomitmen untuk mengawal pemilu kita,” tutur Julfri.
Modus politik uang juga berkembang berdasarkan tujuannya. Jika biasanya pemberi menginginkan penerima untuk memberikan suara pada kandidat yang dicalonkan, kali ini money politics juga bertujuan agar masyarakat tidak memilih calon tertentu. Hal ini telah diatur dalam undang-undang secara jelas. Bahkan bagi peserta pemilu, baik dari kelompok partai, kandidat, maupun masyarakat yang secara terang-terangan melakukan politik uang di hari pelaksanaan pemilu, hukuman atau sanksi akan diberikan secara individu. Aturan ini menyebabkan masyarakat berpotensi terkena sanksi individual terlepas dari sebab dan tujuannya.
Beberapa pola lama, ini sebenarnya politik uang bisa kita dapatkan pola besarnya. Seharusnya kita semua bisa, jadi dari undang-undangnya, penyelenggara, atau peserta pemilunya. Potensi politik uang dalam bentuk fresh money, menjelang hari pemilihan ini potensinya akan semakin besar. Bentuk politik uang itu yang disukai masyarakat, dan itulah kenapa menjelang hari pelaksanaan aturannya menyasar semua orang,” ucap Julfri. Menurutnya, keberadaan sistem politik uang yang terstruktur dan terus ada di setiap pemilu membuat masyarakat memiliki preferensi sebagai penerima. Besaran nominal uang atau barang yang ditujukan untuk pembelian suara tidak lagi penting, melainkan siapa yang memberikan paling terakhir.
Julfri juga mengkritisi bagaimana bantuan sosial dari pemerintah bisa jadi salah satu bagian dari politik uang yang terselubung.
“Masyarakat kita ini masih memandang siapa yang memberi. Jadi ketika diberi, ada rasa untuk membalas budi. Secara legal bansos memang ada dalam program pemerintah, namun anggarannya meningkat drastis terutama menjelang pemilu ini juga perlu diwaspadai. Garda terdepan pemilu kita adalah tahapan pemungutan besok. Semua peserta pemilu pasti akan mengatakan biar rakyat menentukan, tapi kalau tidak mengawal itu bisa jadi hanya bagian dari proses manipulasi,” ujar Julfri Raja Hutasoit.
Ditempat terpisah, tokoh masyarakat Desa Parik sabungan, Kecamatan Siborongborong Tuan Pongat Simanjuntak mengkritisi, Praktik politik uang yang masif semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Setidaknya hal itu diungkapkan Tuan Pongat. Besarnya biaya untuk membeli suara pemilih tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah. Inilah yang kemudian memacu perilaku korupsi.
”Biaya kampanye tidak wajar. Seakan-akan untuk kampanye, tetapi ternyata untuk politik uang. Kadang sistematif, masif, dan terstruktur. Kalaupun terpilih, tentu mereka berpikir mengembalikan uang,” ujar Tuan Pongat.
Lantas dari mana uang sedemikian besar yang harus dikeluarkan pasangan calon? Kalau itu berasal dari investor atau pengusaha, jelas Tuan Pongat, hal itulah yang menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pemilih emosional, maraknya praktik politik uang dalam pilkada menarik perhatian. Tuan Pongat mengatakan, masyarakat kerap tidak mendapat informasi cukup sehingga ketika pemilihan digelar, tidak memilih secara rasional, tetapi secara emosional. Mereka mudah diiming-imingi dengan bayaran atau hadiah.
Akibatnya, untuk meraih dukungan mereka, calon tidak segan merangkul promotor guna memberi dukungan dana.
Apalagi, sistem pemilihan membutuhkan biaya sangat mahal. Sebenarnya, ”Kondisi politik kita harus dibenahi karena tidak baik untuk pemberantasan korupsi,” tutur dia.
Seorang calon, tidak hanya harus menyisihkan dana berkampanye, tetapi juga meminang partai pendukung. Maju dengan modal terbatas akan riskan, apalagi jika calon belum dikenal dan tidak memiliki catatan mengesankan.
Masuknya dana pendukung dari promotor diduga kuat akan berujung pada praktik korupsi. Di sisi lain, bagi petahana, penggunaan dana bantuan sosial serta dana hibah untuk mengikat konstituen juga perlu dicermati.
Apalagi pertanggungjawaban dana hibah dalam APBD itu kerap tidak jelas. ”Harus dicegah menyeluruh.
Tokoh Masyarakat ini (Tuan Pongat Simanjuntak) mengatakan, praktik jual-beli suara rakyat melalui tokoh dalam pilkada, bahkan pemilihan umum, merupakan fenomena perubahan dari era otoriter menjadi populer.
Yang mengkhawatirkan, praktik itu dahsyat terjadi. Pemenangan pilkada, tutur Pongat, kerap semata-mata karena kekuatan uang, bukan program.
Implikasinya, tekanan tidak hanya menguat pada penggunaan dana publik, seperti dana hibah atau bantuan sosial, tetapi juga efek jangka panjang pada sumber keuangan daerah lainnya.
Apalagi pada saat bersamaan struktur politik tidak bekerja optimal. Ujungnya, kompromi dengan para penyandang dana melalui kontrak bisnis, pemberian izin lokasi dan dana hibah, hingga lahirnya program mercusuar dan bantuan sosial yang menyerap habis keuangan daerah demi popularitas petahana.
Jadi salah satu solusi mereduksi praktik politik uang dan transaksi politik dalam pilkada adalah memperketat dana kampanye, memperkuat pendidikan politik, serta menegakkan pidana pemilu, ujar Tuan Pongat.
[Editor: Eben Ezer S]