Jauh sebelumnya, KPU Tapteng telah menyatakan sejak mulai dibukanya penyerahan dukungan pencalonan perseorangan bakal calon (balon) Bupati dan wakil Bupati Tapteng, tanggal 8 hingga 12 Mei 2024, tidak ada satupun bakal paslon kepala daerah jalur perseorangan atau independen yang mendaftar. Dengan demikian, Pilkada Tapteng 2024 dipastikan minus calon perseorangan.
Jika tidak ada perubahan dukungan parpol, paslon KEDAN akan menjadi calon tunggal di Pilkada Tapteng 2024. Namun walaupun begitu, pasangan Khairul Kiyedi Pasaribu - Darwin Sitompul sebagai calon tunggal tidak serta merta secara aklamasi diangkat menjadi kepala daerah. Dalam sistem Pilkada dikenal adanya Pemilu antara pasangan calon tunggal, yang akan melawan kotak kosong. Berdasarkan peraturan, pasangan calon tunggal harus memperoleh suara 50 persen plus 1 suara sah.
Baca Juga:
Polres Taput Musnakan Barang Bukti Narkoba Jenis Ganja Seberat 2 Kg
Walau mengancam demokrasi, munculnya fenomena paslon tunggal melawan kotak kosong, bermula ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan daerah yang hanya memiliki satu paslon dapat mengikuti Pilkada Serentak. Ketentuan itu diakomodir KPU dengan mengeluarkan PKPU Nomor 14 Tahun 2015, yang kemudian diperbaiki dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2018, tentang Perubahan atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015. Sarana yang digunakan adalah surat suara yang memuat dua kolom, satu kolom memuat foto paslon, dan lainnya kolom kosong
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, juga mengakomodasi dan mengatur secara rinci pelbagai persyaratan paslon tunggal yang dimungkinkan jika tak ada lagi pasangan lain yang mendaftar. Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat.
Sebagaimana dinukil dari jurnal "Kotak Kosong Memenangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah" oleh Ayu Lestari dkk, yang dilansir dari tempo.co, munculnya fenomena calon tunggal melawan kotak kosong dalam Pilkada dipengaruhi berbagai faktor. Selain faktor yuridis, beberapa faktor lainnya adalah, proses pencalonan yang membutuhkan biaya tinggi (mahar politik), serta lemahnya daya saing bakal calon dalam kompetisi politik. Kotak kosong versus paslon juga terjadi karena sifat partai politik yang hanya ingin menang, bukan ingin memperjuangkan ideologi partai.
Baca Juga:
Dearman Damanik, "Ada Tiga Tipe Peserta Kegiatan Pariwisata Yang Diselenggarakan Pemerintah"
Saat ini, seseorang yang ingin menjadi kepala daerah tidaklah mudah, karena menuntut biaya yang tinggi dalam proses pencalonan. Selain menuntut biaya pembuatan berbagai properti dan lain sebagainya, bila tidak mempersiapkan mahar politik, dipastikan orang yang berhasrat menjadi kepala daerah tidak akan dapat mencapai impiannya.
Mahar politik seakan menjadi hal yang lumrah, karena dianggap sebagai ongkos perahu yang dalihnya nanti dijadikan sebagai dana pembiayaan untuk menjalankan roda kendaraan partai. Layar perahu kapal partai politik dipastikan tidak akan terkembang, dan kapal partai politik tidak akan berlayar untuk membawa paslon kepala daerah bila mahar politik tidak dibayarkan.
Tingginya cost politik akan dimanfaatkan paslon yang memiliki modal besar memborong dukungan semua partai politik. Ibarat strategi "total foofball' dalam sepakbola modern, taktik ini akan menutup peluang bagi putra daerah lain untuk dapat maju menjadi calon. Dengan modal yang besar, calon kepala daerah mengunci kesempatan bagi calon yang lain untuk mendapat dukungan.