"Korbannya adalah masyarakat, yakni masyarakat adat yang sudah mendiami lokasi tersebut ratusan tahun. Masyarakat sendiri terintimidasi saat mengelola lahan, tempat mereka mencari nafkah. Sejak kedatangan TPL, tatanan dan kehidupan masyarakat adat berubah,"
"Ruang gerak masyarakat adat dibatasi oleh adanya HGU, HPH dan yang lain. Jadi, hal ini benar-benar tidak manusiawi," sambungnya.
Baca Juga:
Gereja HKBP Tolak Tawaran Konsensi Izin Tambang untuk Ormas
Selain itu, isu pemanasan global (global warming) nyata terjadi. Sejauh amatannya, sejumlah kawasan yang dulunya masih dingin kini sudah berubah menjadi panas akibat perambahan hutan secara besar-besaran dan diganti dengan kayu produksi.
"Nyata, kita alami bagaimana perubahan iklim. Pemanasan global. Sejumlah kawasan yang dulunya masih dingin, kini sebagian menggunakan AC di ruangan," terangnya.
"Selalu terngiang ungkapan yang mengatakan bahwa alam Tapanuli Raya ini dianugerahkan Tuhan bagi kita bukan supaya kita kaya, tapi supaya orang Batak hidup. Tanpa perusahaan itu, kita bisa sekolah, jadi sarjana. Nenek moyang dan orang tua kita mengenal pendidikan tanpa TPL dan perusahaan lainnya," sambungnya.
Baca Juga:
Wakil Bupati Samosir Letakkan Batu Pertama Pembangunan Rumah Dinas Gereja HKBP Pangururan Kota
Menurutnya, seandainya perusahaan yang disebut perusak lingkungan itu tak hadir di Tapanuli Raya, masyarakat sekitar akan merasa lebih nyaman.
"Tanpa perusahaan itu, orang Batak bisa jadi sukses. Jadi, apa yang kita takutkan kalau perusahaan perusak lingkungan ini tidak ada di sini? Tidak ada. Lahan konsesi bisa digunakan oleh masyarakat. Infrastruktur jalan akan lebih terawat, ancaman logging yang saban hari terjadi pada kita tidak ada lagi. Kita menjadi nyaman di Tapanuli Raya ini," terangnya.
"Contoh saja, di kawasan Matio. Yang dulunya, ratusan hektar masyarakat kelola menjadi sawah kini tak seluas itu lagi yang dikelola setelah 9 tahun TPL tanam eukaliptus di sana," lanjutnya.