Ditempat terpisah, tokoh masyarakat Desa Parik sabungan, Kecamatan Siborongborong Tuan Pongat Simanjuntak mengkritisi, Praktik politik uang yang masif semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Setidaknya hal itu diungkapkan Tuan Pongat. Besarnya biaya untuk membeli suara pemilih tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah. Inilah yang kemudian memacu perilaku korupsi.
”Biaya kampanye tidak wajar. Seakan-akan untuk kampanye, tetapi ternyata untuk politik uang. Kadang sistematif, masif, dan terstruktur. Kalaupun terpilih, tentu mereka berpikir mengembalikan uang,” ujar Tuan Pongat.
Baca Juga:
Poltak Sitorus Calon Bupati Toba Dinilai Pembohongan Publik, BPS Toba Bantah Jumlah Wisatawan 2,08 Juta Wisatawan
Lantas dari mana uang sedemikian besar yang harus dikeluarkan pasangan calon? Kalau itu berasal dari investor atau pengusaha, jelas Tuan Pongat, hal itulah yang menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pemilih emosional, maraknya praktik politik uang dalam pilkada menarik perhatian. Tuan Pongat mengatakan, masyarakat kerap tidak mendapat informasi cukup sehingga ketika pemilihan digelar, tidak memilih secara rasional, tetapi secara emosional. Mereka mudah diiming-imingi dengan bayaran atau hadiah.
Akibatnya, untuk meraih dukungan mereka, calon tidak segan merangkul promotor guna memberi dukungan dana.
Baca Juga:
Dearman Damanik Sebagai Nara Sumber di Suatu Kegiatan Tidaklah Mudah
Apalagi, sistem pemilihan membutuhkan biaya sangat mahal. Sebenarnya, ”Kondisi politik kita harus dibenahi karena tidak baik untuk pemberantasan korupsi,” tutur dia.
Seorang calon, tidak hanya harus menyisihkan dana berkampanye, tetapi juga meminang partai pendukung. Maju dengan modal terbatas akan riskan, apalagi jika calon belum dikenal dan tidak memiliki catatan mengesankan.
Masuknya dana pendukung dari promotor diduga kuat akan berujung pada praktik korupsi. Di sisi lain, bagi petahana, penggunaan dana bantuan sosial serta dana hibah untuk mengikat konstituen juga perlu dicermati.