TAPUT-SIBORONGBORONG WAHANANEWS.CO, Alpa Simanjuntak Tokoh Masyarakat Tapanuli Utara saat menjadi narasumber pada kegiatan Sosialisasi Tatap Muka Kepada Stakeholders dan Masyarakat Dalam Rangka Persiapan Pengawasan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2024, Kamis 26/9/2024.
Tokoh Masyarakat Alpa Simanjuntak menegaskan bahwa politik uang (money politik) bukan lagi tergolong suatu pelanggaran, melainkan suatu kejahatan pemilu. Menurutnya politik uang masih menjadi permasalahan serius dalam penyelenggaraan Pilkada dari tahun ke tahun.
Baca Juga:
Upacara Memperingati Hari Sumpah Pemuda Berjalan Dengann Suasana Sederhana
"Karena biaya pemilu yang relatif besar, maka ada kecenderungan pasangan calon untuk menggunakan uang menyogok pemilih untuk memenangkan dirinya, hal ini bisa dikatakan adalah sebuah kejahatan pemilu, " kata Alpa pada kegiatan Sosialisasi Tatap Muka Kepada Stakeholders dan Masyarakat Dalam Rangka Persiapan Pengawasan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2024.
Alpa mengatakan, dikutip dari data yang dihimpun oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dari penyelenggaraan Pilkada dari tahun 2005 sampai penyelenggaraan pilkada serentak 2015, cendrung politik uang masih menjadi tren.
Baca Juga:
Ismansyah Putra Nasution Gelar Sutan Soalampoon Harajaon Madina, Kenapa Kita Harus Memilih Boby, Ini Alasannya
Praktik politik uang digunakan pasangan calon sebagai jalan pintas untuk memenangkan Pilkada. "Tercatat lebih dari 350 Gubernur, Bupati dan Walikota yang terbukti bersalah dan menjalani di jeruji besi (hotel gratis), " ujarnya.
Lanju Alpa, Pelanggaran tersebut mencontohkan praktik politik uang yang dilakukan saat Pilkada.
Menurut dia, banyak pasangan calon menggunakan cara tersebut lantaran biaya politik yang begitu besar sehingga pasangan calon dituntut untuk membeli suara pemilih dengan uang.
“Uang tersebut harus dibagi-bagi oleh pemilih atau yang bisa disebut money politik, dalam kata lain menyogok pemilih, " ungkapnya
Alpa menilai tren politik uang yang terus meningkat sudah termasuk golongan kejahatan pemilu yang mempunyai dampak kepada yang memberi maupun penerimanya. Meskipun sudah ada aturan yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang larangan politik uang.
"Sudah ada aturan hukum apabila politik uang tersebut dilakukan baik si pemberi ataupun si penerima. Dalam hal ini sudah ada sanksi yang tegas, " jelas Alpa.
Alpa berharap, pada penyelenggaraan pilkada serentak 2024 mendatang pemilih dapat menentukan calon bukan lagi karena imbalan atau iming-iming uang. Melainkan karena masyarakat berpartisipasi untuk menentukan calon pemimpinya demi kemajuan di daerah tersebut.
"Pemilu bukan alat membuat menjadi pilu, kita berharap pemilu menjadikan pesta demokrasi sebagai ajang rakyat menentukan pemimpinya ke depan, "harapnya.
Pada kesempatan yang sama Anggota DPRD Taput dari Hanura Parsaoran Siahan menegaskan politik uang kini sudah ada aturan yang tegas bahkan diskualifikasi pasangan calon.
"Bagi siapapun yang menjanjikan ataupun memberikan uang atau materi lainnya baik kepada pemilih maupun kepada penyelenggara sudah diatur sangsinya. Bagi pemilih yang menerima uang akan dikenakan sangsi hukum pidana selama satu sampai dua tahun, dan yang memberikan uang tersebut akan dikenakan sangsi, bahkan akan dikenakan denda sebesar Rp100 juta sampai Rp300 juta. Bayangkan memberi Rp50 ribu terkena denda Rp100 juta, " papar Parsaoran.
Siapapun yang melakukan praktik politik uang, lanjut Parsaoran, dalam revisi UU Pilkada sudah diatur sanksi pidana. Sanksi diberikan tidak hanya pada pemberi, namun juga penerima. Bahkan tim kampanye dan relawan juga dikenakan sanksi jika terbukti terlibat politik uang.
"Tim kampanye dan relawan misalnya, jadi jangan salahkan penyidik kepolisian menahan relawan tersebut, karena hal ini sudah ada kewenangan berdasarkan Undang-Undang. Jadi yang mengaku relawan bertobatlah, " jelas politisi dari Hanura tersebut.
[Editor: Eben Ezer S]